Catatan Batin : Sipil Institute Jakarta
Seorang ibu muda bersama gadis kecilnya duduk termenung di sebuah tangga gedung menghentikan langkahku. Sikapnya yang familiar membuatku selalu berbincang dan menggoda bocanya yang hampir setiap saat menemaninya. Saya mengenalnya beberapa bulan lalu sebagai salah seorang cleaning services yang bekerja di kantor itu, ia akrab dengan seluruh pegawai sampai pimpinan kantor.
Untuk mencari tambahan penghasilan, ia dizinkan berjualan makanan dan minuman ringan di salah satu sudut gedung. Kebetulan hampir tiap hari, khususnya hari jumat dan sabtu ratusan orang datang berurusan di kantor itu seharian bahkan sampai malam, namun tidak ada warung atau kanting yang berada di lokasi gedung.
Kurang lebih tiga bulan saya baru ke kantor itu lagi, dan melihat wajahnya murung tidak seperti biasanya yang selalu tampil lincah bergaul dengan pegawai dan mahasiswa. Ada kesedihan di raut wajahnya, ia menyendiri dalam keramaian, ia terpinggirkan dalam kerumunan, ia diam dalam galak tawa orang-orang disekitarnya. Mungkin ia ingin berteriak dalam sunyi, kenapa ia dilahirkan menjadi orang kecil yang setiap saat bisa disapu ke pinggir jalan.
Ketika saya tanya kenapa duduk menyendiri menahan gelisa di tangga? Bukankah selama ini selalu di dalam gedung bercanda dengan pegawai sambil sesekali membantu pekerjaan administrasi kantor kalau pegawai belum pada datang (suka molor waktu)? Ia diam sejenak sambil menarik napas, dan membuang pandangannya menerawang jauh. Sesaat kemudian ia mengatakan disuruh berhenti jualan lagi oleh pimpinan kantor, jawabnya lirih. Giliran saya yang terdiam berkomunikasi dengan batinku sendiri. Bukankah pimpinan kantor yang dimaksud berilmu tinggi, kataku membantin.
Saya langsung teringat tulisan Anggi Afriansyah (Peneliti Sosiologi Pendidikan di LIPI). Ia mengutip dan membahas buku Donald B Calne yang sudah diterjemahkan menjadi Batas Nalar : Rasionalitas dan Perilaku Manusia. Menurutnya di pengantar awal karyanya, Calne mempertanyakan, mengapa orang berpendidikan dianggap dan yang diharapkan menjadi menusia arif dan bijaksana, mampu memilah yang baik dan buruk, juga memperkuat nalar. Padahal dalam sejarah panjang dunia, ternyata kekejaman bukan hasil perbuatan orang-orang bodoh. Nazi, seperti ditulis Calne, bukan dirancang orang-orang bebal, justru akarnya bertumpu pada bahu kaum cendekiawan, mereka yang terdidik dengan sangat berilmu.
Sahabat pembelajar, relevankah kegelisahan Calne ini dengan pemandangan saya melihat ibu muda pengadu nasib penjual makanan dan minuman ringan di kantor itu yang tiba-tiba disuruh berhenti oleh pimpinan kantor setelah berilmu tinggi. Sangat relevan tentu tidak, karena saya tidak mengatakan apa yang dialami ibu muda ini adalah sebuah “kejahatan kemanusiaan" yang dilakukan oleh orang berilmu tinggi. Numun tetap ada relevansinya, karena ternyanta orang berilmu tinggi bukan jaminan berbuat baik, arif dan bijak pada orang kecil.
Jadi sudah terjawab kegelisahan Calne, bahwa orang berpendidikan tinggi (berilmu) tidak selamanya bisa diharapkan menjadi manusia arif dan bijaksana, terlebih diharapkan menjadi bagian dari revolusi nasib seseorang ke arah yang lebih baik, lebih damai, lebih bahagia, dan lebih sukses. Karena terkadang sikap alami “ke’aku’an” seseorang mengaburkan nilai keilmuannya untuk melakukan tindakan baik, arif dan bijaksana. Jadi nampaknya tidak ada tempat sang pengadu nasib dalam jiwa-jiwa orang yang kaya ilmu tetapi miskin modal sosial.
Kalau Calne mempertanyakan kenapa orang berpendidikan tinggi diharapkan menjadi menusia arif dan bijaksana, mampu memilah yang baik dan buruk. Itu karena sejatinya kedudukan ilmu itu berbanding terbalik dengan kedudukan hati, sebaliknya berbanding lurus dengan tindakan. Maksudnya semakin tinggi ilmu seseorang sejatinya semakin rendah hatinya, atau semakin berilmu seseorang sejatinya semakin arif dan bijak tindakannya. Tetapi ya sudalah, hal-hal yang “sejati” dan “ideal” memang hanya mulia di wilayah konsep dan kabur di dunia nyata. Pesannya : pendidikan tinggi hampir nol hubungannya dengan integritas dan moralitas. (Salam kepada pengadu nasib, jangan pernah berhenti berproses, karena roda kehidupan terus berputar.)
Baca Juga
0 Komentar