KAWASANSUMBAR.COM
Payakumbuh |(sumbar) Sejumlah wali murid di SD 29 Negeri Kota Payakumbuh mengeluhkan adanya pungutan yang dianggap memberatkan. Salah seorang wali murid, berinisial "K", mengungkapkan bahwa sumbangan yang awalnya bersifat sukarela kini berubah menjadi kewajiban yang terikat dengan jumlah dan batas waktu pembayaran. Jika tidak memenuhi kewajiban tersebut, wali murid khawatir hak akademik anak-anak mereka akan dibatasi.
Beberapa siswa bahkan terancam tidak dapat mengikuti ujian atau menerima rapor tepat waktu. Keluhan ini disampaikan oleh wali murid kepada awak media pada Kamis (3/10/2024) di Payakumbuh.
Praktik semacam ini, menurut para orang tua, sudah sering terjadi setiap tahun ajaran baru dimulai. Pihak sekolah atau komite menyampaikan bahwa anggaran sekolah dari pemerintah tidak mencukupi, sehingga dibutuhkan dana tambahan dari wali murid untuk mendukung program-program yang sudah direncanakan. Dalam rapat komite, orang tua diminta untuk berpartisipasi secara finansial. Namun, menurut beberapa wali murid, partisipasi ini lebih menyerupai pungutan yang bersifat wajib, bukan sumbangan sukarela seperti yang disampaikan.
Wali murid "K" merasa kebijakan tersebut bertentangan dengan peraturan yang ada. Berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, komite hanya diberi kewenangan untuk menggalang dana dalam bentuk bantuan atau sumbangan, bukan pungutan. Artinya, setiap bentuk penggalangan dana yang tidak bersifat sukarela dan tanpa dasar hukum jelas dapat dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli). Sayangnya, praktik ini masih sering dijumpai di berbagai sekolah, termasuk di Payakumbuh.
Sebagian besar mengenai permintaan dana pendidikan atau pungutan liar (pungli) oleh oknum komite tersebut yang juga sebagai pejabat di Dinas Kominfo Kota Payakumbuh
Kepala Sekolah SD 29 Negeri Kota Payakumbuh, Nelfita S.P.d, saat dikonfirmasi oleh media melalui pesan singkat WhatsApp, menjelaskan bahwa tidak ada pungutan wajib yang diberlakukan di sekolah tersebut. Menurutnya, yang ada hanyalah sumbangan sukarela dari wali murid dan alumni untuk mendukung pembuatan taman di lingkungan sekolah. Nelfita juga menegaskan bahwa sumbangan tersebut tidak bersifat memaksa dan dilakukan atas inisiatif bersama untuk memperbaiki fasilitas sekolah.
Meskipun demikian, beberapa wali murid tetap merasa ada tekanan untuk membayar sumbangan tersebut. Mereka khawatir jika tidak memenuhi "kewajiban" tersebut, anak-anak mereka akan menerima konsekuensi akademik. Misalnya, hak untuk mengikuti ujian atau memperoleh rapor mungkin akan ditahan hingga pembayaran sumbangan diselesaikan. Situasi ini, menurut para orang tua, menambah beban mereka, terutama bagi keluarga yang memiliki keterbatasan finansial.
Pungutan dalam dunia pendidikan telah menjadi isu sensitif, terutama karena sering kali terjadi tanpa transparansi yang memadai. Para orang tua berharap agar penggalangan dana di sekolah dilakukan dengan lebih terbuka dan sesuai aturan. Mereka juga berharap pihak sekolah dapat memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang penggunaan dana yang dikumpulkan, sehingga tidak menimbulkan persepsi negatif di kalangan wali murid.
Masalah ini menyoroti pentingnya pengawasan lebih ketat dari pihak terkait, baik Dinas Pendidikan maupun pemerintah daerah. Dengan adanya pengawasan yang lebih baik, pungli berkedok sumbangan seperti yang dikeluhkan para wali murid di SD 29 dapat dicegah. Selain itu, penting juga bagi pihak sekolah untuk memastikan bahwa setiap bentuk sumbangan yang diajukan benar-benar bersifat sukarela, tanpa ada tekanan atau ancaman terhadap hak-hak siswa.
Di sisi lain, banyak wali murid yang mendukung upaya sekolah dalam meningkatkan fasilitas dan kualitas pendidikan. Namun, mereka menekankan bahwa segala bentuk penggalangan dana harus dilakukan dengan transparan, adil, dan tidak membebani wali murid, terutama yang berasal dari kalangan kurang mampu.
#dendi
0 Komentar